Hampir semua orang pasti pernah belajar tentang tolak peluru. Baik itu secara teori maupun praktik. Salah satu nomor dalam cabang olahraga atletik tersebut biasanya diperkenalkan di Sekolah Dasar (SD). Khususnya dalam materi pembelajaran Pendidikan, Jasmani, Olahraga dan Kesehatan (PJOK). 

Dalam beberapa kasus, materi tolak peluru hingga tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Bahkan, tak jarang untuk praktiknya, guru olahraga akan mengajarkan siswa membuat bola tolak peluru sendiri. Agar mereka dapat berlatih sendiri di rumah. Lantas, kenapa ya, olahraga tolak peluru tak populer? 

Saat Energen Champion SAC Indonesia - Papua Qualifiers digelar 2022 lalu di Mimika Sports Complex, Dalfinsen Sroyer, atlet tolak peluru putra Indonesia, turut hadir menyaksikan para pelajar berlomba. Tak jarang, Dalfinsen mencuri waktu untuk memberikan contoh cara memegang bola tolak peluru dengan benar pada peserta. 

Saat itu, Dalfinsen mengaku sampai meneteskan air mata ketika melihat besarnya antusiasme pelajar di Papua. Khususnya di nomor tolak peluru putra. Dalfinsen tak menyangka, akan banyak pelajar yang memilih nomor kesayangannya itu, meskipun tak semua peserta SAC mengerti cara melakukan tolakan dengan baik. 

“Karena untuk cari orang yang mau berlomba di tolak peluru itu sangat sulit. Peminatnya kurang. Belum pernah terjadi seperti ini di depan mata saya. Karena setiap kejuaraan daerah, peminat tolak peluru itu paling sedikit,” ungkap Dalfinsen, saat itu.

Atletik memang disebut olahraga individu. Aktivitasnya dilakukan sendiri. Termasuk tolak peluru. Banyak pegiat atletik mengatakan bahwa pelajar cenderung menyukai olahraga permainan. Terutama yang beregu. Seperti basket dan sepakbola. Kondisi tersebut diperburuk dengan kejuaraan atletik yang jarang digelar. 

“Sehingga orang itu tak tahu tolak peluru ini olahraganya seperti apa. Dan masuk ke cabang olahraga apa. Bahkan hanya sedikit orang yang memahami tentang cabang olahraga atletik. Apalagi, di sekolah, tolak peluru itu diajarkan hanya dasarnya saja,” ungkap Eki Febri Ekawati, atlet tolak peluru Indonesia, peraih medali emas di SEA Games Vietnam 2021. 

Cukup Pahalawidi, anggota talent scouting PB PASI, menyebut bahwa sebenarnya tolak peluru telah dikenal luas oleh masyarakat. Baik melalui pendidikan maupun kejuaraan. Namun, di tingkat kepelatihan atletik, tak banyak pelatih lempar tersedia. Sehingga pengembangan tolak peluru sedikit lambat. 

“Sehingga potensi itu tidak bisa dioptimalkan,” katanya. 

Tak hanya itu, tolak peluru juga membutuhkan fasilitas dan alat yang kompleks. Untuk bola tolak peluru misalnya, tak mudah untuk didapatkan. Selain itu kebutuhan lapangan tolak peluru sering bertabrakan dengan pemeliharaan stadion. Yang pada umumnya digunakan sebagai lapangan sepak bola. Pasalnya, bola tolak peluru dapat menyebabkan lapangan menjadi rusak. 

“Jadi tak hanya dari segi kepelatihan melainkan, fasilitas juga susah,” tandasnya. 

Meskipun tolak peluru dianggap tak populer dan kurang diminati di Indonesia, olahraga ini sering mengantarkan emas bagi Ibu Pertiwi. Jadi, bagaimana menurut pendapat kalian? Apa yang dapat dilakukan untuk semakin mempopulerkan tolak peluru? (*)

  RELATED ARTICLES