Menjadi juara dalam ajang olahraga internasional di usia muda bukan sesuatu yang mustahil. Lalu Muhammad Zohri buktinya. Meskipun baru menginjak 22 tahun, sprinter asal Lombok Utara itu sudah riwa-riwi ke Finlandia hingga Jepang. Untuk mengikuti kompetisi olahraga atletik nomor sprint 100 meter.

Menjadi top level tentu butuh perjuangan ekstra. Zohri -panggilannya- harus sabar mengikuti banyak seleksi. Pun rela meninggalkan masa remajanya. Dia juga harus pandai mengatur waktu latihan. Fokus terhadap cita-cita. Hingga belajar menata mental agar tak mudah gentar saat menghadapi lawan. 

Menekuni nomor sprint dalam cabang olahraga atletik bukan hal yang diharapkan Zohri pada awalnya. Anak dari pasangan almarhumah Saeriah dan almarhum Lalu Ahmad Yani itu justru jatuh cinta dengan sepak bola. Tetapi semua berubah saat guru olahraga di sekolahnya membujuk Zohri untuk mengikuti Kejuaraan Daerah (Kejurda) Atletik Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 2016.

“Waktu kelas 1 SMP ada kesempatan buat ikut Kejurda atletik. Tapi saya belum masuk dan mendalami atletik. Pada saat itu juga bertabrakan dengan pertandingan sepak bola, Jadi ya jelas saya tetap memilih sepak bola,” kata Zohri.

“Tapi pas kelas 3 SMP, umur saya sudah tidak bisa lagi mewakili sekolah buat pertandingan sepak bola, sedangkan atletik masih bisa. Inilah awalnya.”

Rosida, guru olahraga Zohri di SMPN 1 Pemenang Lombok Utara, tak tinggal diam. Dia berusaha meyakinkan Zohri untuk mencoba atletik. Berbekal janji untuk menaikkan nilai pelajaran olahraganya, Rosida mengajak Zohri berlatih di rumahnya. Yang kebetulan punya halaman luas. 

“Saya awalnya menolak. Saya kan nggak tahu dunia lari. Lari itu apaan sih. Tapi Bu Rosida bilang ke saya, jika saya ikut kejuaraan daerah, nilai saya akan diberi bagus. Kebetulan nilai olahraga saya memang di bawah rata-rata. Akhirnya saya mau. Di situ lah dunia atletik saya dimulai,” cerita Zohri.

Sebelum mengikuti Kejurda Atletik NTB 2016, Zohri masih harus mengikuti seleksi di tingkat Kabupaten Lombok Utara. Rupanya Zohri memang unggul dari teman sebayanya yang berasal dari sekolah lain. Membuat Zohri resmi mengikuti Kejurda mewakili Kabupaten Lombok Utara. Inilah kejuaraan atletik pertamanya. 

“Mungkin guru olahraga saya melihat saya punya kemampuan. Terus waktu ikut mewakili Lombok Utara itu saya melihat peserta yang lain gede-gede gitu, saya kan kurus. Saya sempat takut pada awalnya. Bisa jadi langkah kakinya lebih gede dia,” tutur Zohri.

“Terus pas saya ngelihatin orang lain pemanasan, ya saya diam saja. Soalnya nggak mengerti saya mau ngapain. Yang ada di pikiran saya malah bertanya, ini orang-orang ngapain sih. Namanya juga nggak tahu. Terus Bu Rosida menyuruh saya buat jogging saja. Ya sudah, saya ikuti,” kenang Zohri.

Di Kejuaraan Daerah NTB itu Zohri membawa pulang dua medali emas untuk Kabupaten Lombok Utara. Satu untuk jarak 100 meter. Satu lagi untuk 200 meter. Dia mengaku senang bukan main. Apalagi saat itu adalah kompetisi atletik pertamanya. 

“Saya ingat, waktu baru finish. Saya didatangi oleh bapak-bapak. Saya ditanya apakah mau sekolah gratis, mau tempat tinggal gratis, mau makan gratis. Ternyata bapak-bapak itu adalah pelatih dari PPLP NTB,” ungkap Zohri. 

Di PPLP (Pusat Pendidikan Latihan dan Olahraga Pelajar) lah Zohri digembleng menjadi pelari dengan serangkaian program. Awalnya, diterapkan latihan ringan pada Zohri yang saat itu berusia 15 tahun. Misalnya skipping lari-lari kecil-kecil, lari angkat paha, lari tumit menyentuh pantat, dan masih banyak lagi. Kemudian, Zohri mengalami ujian peningkatan daya tahan. 

“Dulu awal dipanggil PPLP itu saya nggak punya sepatu buat jogging. Saya juga sempat mau berhenti sekolah karena nggak ada biaya. Tapi ada kakak saya yang mau belikan tas, mau belikan peralatan sekolah. Alhamdulillah ketika menang, saya diberi sekolah gratis oleh pemerintah melalui PPLP,” bilang Zohri. 

"Di PPLP itulah saya merasakan benar-benar kerja keras. Jauh dari keluarga, jauh dari teman. Baju yang saya punya cuma berapa doang. Jemur, kering, dipakai, terus dicuci lagi. Begitu terus menerus,” ungkapnya.

Setelah enam bulan di PPLP, Zohri dipersiapkan untuk mengikuti Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas) XIV di Jawa Tengah pada 2017. Tapi kabar duka datang dari keluarganya. Satu minggu sebelum kejuaraan dimulai, ayah Zohri meninggal dunia. Namun, itu tak membuat kemampuan Zohri menurun. Ia tetap memenangi Popnas untuk lari 100 dan 200 meter.

"Coba saja kalau bapak dan ibu saya masih hidup, pasti bangganya bukan main," katanya singkat.

Kehilangan orang tua membuat Zohri sempat ingin berhenti latihan. Namun ia selalu ingat tentang tujuannya, yakni mengumrohkan sang kakak. Selain itu, Rosida, gurunya di SMPN 1 Pemenang Lombok Utara, pernah bercerita tentang
Sudirman Hadi. Sudirman atlet NTB yang turun di Olimpiade 2016 lalu. Setelah mendengar cerita tentang Sudirman itu, Zohri kembali bersemangat.

Lalu Muhammad Zohri kini dikenal sebagai salah satu pelari tercepat di Indonesia. Dia berhasil menempati posisi pertama dalam Kejuaraan Asia Junior di Gifu, Jepang untuk nomor lari cepat 100 meter dan catatan waktu 10,27 detik. Ia juga meraih catatn waktu 10,18 detik di Kejuaraan U20 Finlandia. Saat itu ia masih duduk di SMAN 2 Mataram. Catatan waktu terbaiknya saat ini adalah 10,03 detik. Yang ia raih ketika mengikuti Kejuaraan Seiko Golden Prix Osaka. Keren ya? (*)

Populer

Lempar Cakram: Pengertian, Sejarah, Teknik Dasar, Aturan dan Manfaat
Tiga Jenis Start dalam Olahraga Lari
Mengenal VO2 Max dan Cara Efektif Meningkatkannya
Lari Jarak Menengah: Pengertian, Sejarah, Teknik Dasar dan Manfaat
Pengertian, Sejarah, dan Jenis Cabang Atletik