Doping teknologi merupakan salah satu bentuk kecurangan dalam olahraga. Kasus-kasus doping teknologi tak kalah kontroversial dengan doping umumnya yang melibatkan obat-obatan terlarang. Namun, pengungkapan kasus doping teknologi jauh lebih rumit untuk dibuktikan.
Meski merupakan kecurangan serius, doping teknologi masih kurang dipahami secara luas. Simak penjelasan lengkap tentang doping teknologi berikut ini.
Apa itu Doping Teknologi?
Menurut The Encyclopedia of World Problems & Human Potential, doping teknologi adalah kecurangan dengan menggunakan peralatan olahraga yang dapat “meningkatkan performa” untuk mendapatkan keuntungan dalam sebuah kompetisi olahraga. Contoh peralatan olahraga yang dimaksud adalah sepatu, pakaian, teknologi prostetik, dan lainnya.
Istilah doping teknologi juga sering disebut dengan techno-doping, mechanical doping, atau technological fraud. World Anti-Doping Agency (WADA) telah mengategorikan doping teknologi sebagai masalah yang serius. Sayangnya, doping teknologi masih sulit untuk ditangani. Ini karena doping teknologi sulit dibedakan dengan peningkatan teknologi peralatan olahraga.
Baca juga: Pengertian “Doping” dan Larangannya di Dunia Atletik
Perbedaan dengan Doping pada Umumnya
Doping teknologi merupakan kecurangan berolahraga dengan peralatan yang meningkatkan kemampuan. Ini berbeda dari doping yang umumnya dikenal. Doping merupakan penggunaan senyawa atau perlakuan terlarang untuk meningkatkan performa dalam kompetisi. Kasus doping tak jarang melibatkan atlet ternama yang terkadang berujung pada sanksi larangan beraktivitas sebagai atlet.
Doping biasa yang dapat diperiksa melalui tes kesehatan. Umumnya sebelum kompetisi, atlet akan menjalani serangkaian tes doping. Pemeriksaan umumnya dilakukan dengan tes urine dan darah. Sampel urine atlet akan diperiksa apakah mengandung senyawa yang dilarang. Jenis yang paling sering digunakan sebagai doping adalah morfin, steroid, amfetamin, dan lainnya. Tes darah di dua waktu berbeda diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya upaya doping darah.
Doping teknologi sangat sulit untuk terdeteksi. Beberapa kasus doping teknologi baru diketahui setelah ditemukan adanya pola tertentu pada kemenangan suatu cabang olahraga. Ketika ada kesamaan berulang pada peralatan yang dipakai sang juara, barulah dilakukan penyelidikan. Jika terbukti alat tersebut meningkatkan performa atlet, akan dibuat regulasi untuk melarang penggunaannya.
Pengaruh Doping Teknologi terhadap Performa Atlet
Dampak dari doping teknologi pada atlet adalah secara perlahan menurunkan performa. Ini karena hasil kompetisinya tidak lagi murni upaya fisik manusia, tetapi atas bantuan alat. Doping teknologi juga melukai integritas berolahraga yang menjunjung perkembangan performa fisik dari latihan.
Doping teknologi membuat kompetisi olahraga menjadi tidak adil. Ini karena doping teknologi berupa alat berteknologi mumpuni umumnya hanya bisa didapatkan oleh atlet elite. Atlet-atlet baru yang tak punya akses pada teknologi tersebut tentunya akan semakin terpinggirkan.
Contoh Kasus Technological Doping
1. Sepatu Nike Vaporfly
Kasus paling terkenal dari doping teknologi adalah kasus sepatu Nike Vaporfly. Dugaan doping teknologi awalnya muncul setelah adanya kesamaan jenis sepatu yang dipakai para juara lari maraton dunia. Sejumlah 86% atlet yang naik podium di enam maraton dunia ternyata menggunakan sepatu Nike Vaporfly.
Ciri khas dari sepatu Nike Vaporfly adalah solnya yang melengkung dengan menggunakan busa Pebax. Bentuk unik sepatu tersebut ternyata mampu meningkatkan performa atlet sebanyak kurang lebih 4%. Angka yang terlihat kecil, tetapi sangat berpengaruh dalam hasil maraton.
Akibat dari kontroversi sepatu Nike Vaporfly, World Athletics mengeluarkan regulasi baru mengenai sepatu untuk mencegah adanya pengaruh teknologi pada hasil lari. Salah satu aturannya adalah sepatu yang dipakai atlet harus memungkinkan untuk dibeli oleh atlet yang tak memiliki kontrak dengan merek tertentu. Aturan tersebut mencegah adanya keistimewaan perlengkapan pada atlet tertentu.
2. Baju Renang LZR Racer Speedo
Pada Olimpiade Beijing di tahun 2008, ditemukan bahwa 23 dari 25 rekor dunia renang diraih oleh perenang yang menggunakan pakaian renang LZR Racer dari Speedo. Baju renang tersebut ditemukan mampu mengalirkan oksigen lebih banyak ke otot, mendukung posisi tubuh dalam posisi hidrodinamis, dan meningkatkan daya apung perenang. LZR Racer disebut dapat mempersingkat waktu renang sebanyak 1,9-2,2%.
Setelah kontroversi tersebut, World Aquatics merevisi aturan mengenai baju renang atlet. Pakaian renang yang dipakai atlet tidak boleh full-body, tidak boleh menutupi leher, tidak boleh melewati bahu dan pergelangan kaki, dan ketebalan baju renang dipastikan tidak meningkatkan performa atlet.(*)